Serah jarum jam ; Dr. Mustamar Iqbal Siregar, MA. Alustadz Ariansyah Tampubolon, S.PdI. Denny Aprilsyah Lubis,.ST, M.Kom. Abdul Baid Pohan, SE. |
Sibolga | Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pada Sabtu (19/03/2022) di Kab. Banyuwangi, Jawa Timur menegaskan bahwa pada Ramadhan tahun ini, umat Islam Indonesia boleh melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah di masjid.
Namun aturan itu dibarengi beberapa persyaratan khusus yaitu hanya bagi warga yang sudah menerim vaksin Covid-19 hingga dosis ketiga yaitu Booster. Selain itu penerapan protokol kesehatan secara ketat tetap diberlakukan.
Aturan "ala LBP" ini pun mendapat tanggapan dari masyarakat banyak, termasuk di Kota Sibolga. Sejumlah tokoh agama dan tokoh pemuda angkat bicara terkait aturan ini.
Ustadz Ariansyah Tampubolon, S.PdI dalam wawancara bersama limakabar.com menilai aturan wajib vaksin booster untuk bisa sholat Tarawih di masjid merupakan aturan yang tidak berdasar dan menyakiti hati umat Islam.
Aturan itu melegitimasi perlakuan tidak adil pemerintah terhadap umat Islam. Pasalnya, perlakuan berbeda diterapkan saat pelaksanaan balapan internasional MotoGP di Mandalika. Kedatangan masyarakat bahkan dari seluruh belahan dunia ke Mandalika tidak disertai dengan pengetatan khusus bahkan sangat longgar dan terkesan di istimewakan.
"Tapi hanya 1 bulan setelah itu, tiba-tiba berlaku aturan super ketat untuk tarawih dibulan Ramadhan. Ini melukai perasaan kami," sesalnya.
Senada dengan itu, Ketua Pemuda.Muslimin Indonesia Kab. Tapteng, Abdul Baid Pohan, SE berpandangan aturan Luhut Binsar Panjaitan tersebut mengusik rasa rindu umat Islam dalam menyambut bulan Ramadhan.
Baid menilai, ketentuan paling ideal pada Ramadhan 1443 H tahun ini adalah sebagaimana yang dikeluarkan oleh MUI yaitu menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Pada prinsipnya, Umat Islam sejalan dengan semangat pemerintah menekan laju penyebaran Covid-19, namun harus pula memperhatikan capaian persentasi vaksin Covid setiap dosisnya.
"MUI sudah mengeluarkan edaran untuk Ramadhan tahun ini, itu sudah cukup. Selanjutnya pemerintah tinggal memastikan agar aturan penerapan prokes selama Ramadhan itu berjalan dengan baik. Gak perlu wajib booster," ungkapnya.
Penolakan wajib dosis 3 booster bagi jamaah sholat tarawih di Indonesia juga datang dari kalangan akademisi. Dosen IAIN Langsa Aceh Dr. Mustamar Iqbal Siregar, MA menilai aturan tersebut terlalu berlebihan. Bahkan aturan itu diduga menjadi bahasa lain untuk tidak memperbolehkan terlaksananya sholat tarawih berjamaah di masjid. Sebab, pada satu sisi jumlah kemayoritasan umat Islam di Indonesia adalah bersifat absolut, sementara disisi lain vaksinasi dosis 3 booster baru mencapai 7 persen. Sisanya 93 persen lagi dipastikan tidak akan tercapai dalam kurun waktu 1 bulan kedepan.
"Menurut saya, pasca melandainya tingkat penyebaran Covid di Indonesia, vaksinasi tahap kedua yang telah mencapai angka 72 persen disertai penerapan protokol kesehatan sudah cukup sebagai alasan penyelenggaraan salat Tarawih berjamaah di Masjid," jelasnya.
Masih kata Mustamar. "Perlu diingat, meskipun tarawih hukumnya sunat, namun perannya dalam bulan Ramadhan sebagai salah satu tradisi spritual sangat signifikan. Terlebih setelah sekian lama bangsa Indonesia diserang wabah Covid yang berkonsekuensi pada kelumpuhan ekonomi publik, maka pemerintah sejatinya tidak hanya fokus pada vaksinasi Covid, namun "vaksinasi spritual" perlu menjadi perhatian serius," jelasnya menambahkan.
Pandangan lain disampaikan oleh tokoh pemuda Kota Sibolga, Denny Aprilsyah Lubis, ST, M.Kom. Ketua Karang Taruna Kota Sibolga ini menyoroti cara pemerintah yang tidak tepat dalam mengkomunikasikan aturan wajib booster bagi jamaah sholat Tarawih sepanjang Ramadhan 1443 H nanti.
Denny menyoroti, latar belakang LBP yang sebagai Menko Marves tidak tepat berbicara tentang hal-hal yang sangat sensitif dalam Islam termasuk sholat tarawih. Apalagi sebelumnya MUI telah mengeluarkan aturan terkait hal yang sama.
Aturan tersebut lebih baik disampaikan oleh Kementerian Agama atau pun melalui surat edaran dari kementerian atau pun dinas instansi terkait.
"Karena hal ini merupakan aturan dalam melaksanakan ibadah maka semestinya hal ini disampaikan melalui kementerian agama. Lewat edaran atau konferensi pers," ulasnya.
Mnurutnya, persoalan sholat tarawih merupakan persoalan internal umat Islam. Maka dalam mengkomunikasikannya kepada publik haruslah tetap memperhatikan latar belakang pendengarnya.(SW25)