Haogomano Zega | Foto : istimewa |
“Yang dikeluhkan itu akan kita usulkan andai masyarakat beri mandat”
Terdengar biasa tapi penuh makna dan bertujuan khusus. Tahun 2024 ini diketahui merupakan puncak pesta demokrasi di Negara Republik Indonesia, pemilihan umum telah usai pada bulan Februari yang lalu, kini didepan mata kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) segera tiba.
Mungkinkah anda salah satu dari sekian banyak kandidat yang digadang masyarakat selama ini?, sebagian sudah mulai menampakan diri bahkan telah melaksanakan deklarasi, tapi anggap saja itu bagian dari prosesnya.
Bukan rahasia lagi, sebuah janji bisa saja menjadi jembatan duduk di kursi orang nomor satu di suatu daerah, mulai dari Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan juga Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Mengedepankan finansial untuk meraup segalanya lazim terjadi disekian lama bergulir pesta demokrasi, sepanjang itu tidak diketahui dan memang dilakukan secara tersembunyi, penuh dengan skil dan trik kelas kakap.
Berjanji dan juga diiringi finansial merupakan hal yang potensial kerap dilakukan oleh para kandidat berdasi, pada akhirnya berbuntut jadi tikus berdasi.
Di Provinsi Sumatera Utara, satu periode yang lalu terdengar slogan “Sumut Bermartabat”. Sementara pulau Nias yang ada di dalamnya masih mengantongi angka kemiskinan yang terbilang tinggi hingga saat ini.
Pergeseran yang tidak signifikan, persentase penduduk miskin di kepulauan Nias menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara hingga tahun 2023, di Kabupaten Nias berada di angka 15,10 persen, Kabupaten Nias Selatan 16,39 persen, Nias Utara 21,79 persen, Nias Barat 22,81 persen, dan Kota Gunungsitoli 14,78 persen.
Begitu ironis bila dikatakan Pulau Nias belum merasakan yang namanya Sumut Bermartabat dimaksud, karena kemiskinan masih ada dengan angka yang tidak sedikit jumlahnya.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi, karena disebabkan oleh beberapa faktor. Utamanya infrastruktur yang selama ini luput dari perhatian pemerintah provinsi di Kepulauan Nias meliputi empat kabupaten dan satu kota didalamnya. Sehingga perkembangan perekonomian seperti pemasaran hasil komoditas pertanian warga selalu berada diangka paling rendah, dan jauh berbanding terbalik dengan harga kebutuhan pokok yang melebihi harga eceran tertinggi.
Selama periode itu, masyarakat kepulauan Nias seperti dibungkam oleh keadaan, menerima nasib walaupun hidup penuh keterbatasan akibat ruas jalan bak kubangan kerbau yang terbentang jauh mengelilingi kepulauan Nias. Padahal ruas jalan provinsi tersebut merupakan akses satu-satunya menuju pusat pemasaran dan pembelanjaan.
Mungkin saja, tidak sepenuhnya kesalahan Sumut Bermartabat, tapi karena kucuran anggaran yang tidak tepat sasaran sekian tahun selama ini. Namun seharusnya itu tidak terlepas dari pengawasan para elit di tingkat provinsi asal kepulauan Nias, dan para kepala daerah di masing-masing kabupaten/kota di Kepulauan Nias.
Sesungguhnya Kepulauan Nias ini masih membutuhkan tangan-tangan orang yang suka rela tanpa pamrih untuk mengembangkannya, konon lagi bermimpi daerah otonom baru menjadi satu provinsi. Kemustahilan bila seperti ini terus-menerus dirasakan oleh masyarakat.
Menjelang Pilkada pada bulan November mendatang, kondisi ini pun sangat fenomenal terhadap mereka yang berkompetisi, alih-alih membangun pulau Nias setelah menduduki kursi nomor satu, saat sekarang ini pun belum berbuat apa-apa, namun terus menggaungkan sejumlah janji-janji.
Sudah mulai nampak, ruas jalan provinsi bak kubangan kerbau di Kepulauan Nias diprediksi menjadi sebuah bahan bargaining, diiming-iming akan membahas ke dalam forum pemerintahan dan akan menyampaikan melalui relasi-relasi politik nantinya bila diberi mandat oleh masyarakat.
Miris janji seperti itu, diharapkan kepada masyarakat kepulauan Nias untuk menjadi pemilih yang penuh integritas dan tidak memberi mandat kepada dia yang bersilat lidah. Coba serius, pikirkan masa depan, dan jangan tergoda pada selembaran kertas yang dapat membeli pilihanmu.
Penulis : Haogomano Zega (jurnalis muda).