Oleh: Agusto Sulistio - Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber.
Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, telah mengejutkan publik dengan keputusannya untuk mundur dari jabatannya di tengah situasi politik Indonesia yang sedang dilanda berbagai permasalahan serius (Jakarta,11/8/2024). Golkar, sebagai salah satu partai politik terbesar dan tertua di Indonesia, selalu memainkan peran sentral dalam dinamika politik nasional. Keputusan Airlangga ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, terutama karena terjadi saat Indonesia tengah menghadapi masa-masa penuh gejolak yang ditandai dengan isu-isu korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan dugaan penyelewengan kekuasaan.
Saat ini, Indonesia sedang berada dalam pusaran politik yang tidak stabil. Isu-isu penegakan hukum, korupsi, dan cawe-cawe politik di Pilkada kian meruncing. Di tengah panasnya suasana politik menuju Pilkada 2024, di mana putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, dan menantunya, Bobby Nasution, turut ambil bagian, muncul kontroversi yang semakin memperkeruh situasi. Situasi ini menciptakan tantangan besar bagi tokoh-tokoh politik yang berada di puncak kepemimpinan partai besar saat ini di ujung masa akhir jabatan Presiden Jokowi.
Krisis Politik di Tengah Transisi Kekuasaan
Keputusan Airlangga Hartarto untuk mundur tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Indonesia yang sedang mengalami masa-masa sulit. Setelah pemilihan presiden yang penuh dengan kontroversi, isu-isu penegakan hukum, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan terus mendominasi diskursus politik nasional. Di sisi lain, Pilkada 2024 yang akan datang menambah kompleksitas situasi, terutama dengan keterlibatan langsung keluarga Presiden Jokowi, yakni Kaesang Pangarep dan Bobby Nasution, yang akan mencalonkan diri.
Meskipun Airlangga Hartarto belum memberikan pernyataan resmi yang mendetail mengenai alasan pengunduran dirinya, beberapa faktor dapat diidentifikasi sebagai pemicu utama keputusan ini:
1. Tekanan Internal Partai: Ada kemungkinan bahwa keputusan ini diambil setelah menghadapi tekanan dari faksi-faksi di dalam Golkar yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Airlangga mungkin dianggap tidak mampu lagi memimpin partai di tengah situasi politik yang kian kompleks, atau ada dorongan untuk meremajakan kepemimpinan Golkar guna menghadapi tantangan politik ke depan.
2. Kontroversi dan KKN: Isu-isu terkait dugaan KKN, serta penyelewengan kekuasaan yang melibatkan tokoh-tokoh politik besar, dapat menjadi alasan kuat bagi Airlangga untuk mundur. Dengan berbagai tuduhan yang mungkin mencoreng citra partai, pengunduran diri ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menjaga integritas pribadi dan partai di tengah krisis.
3. Dinamika Pilkada 2024: Dugaan ambisi Jokowi dalam pembangunan Ibukota Negara (IKN), keterlibatan keluarga Presiden Jokowi dalam Pilkada mendatang memperkeruh situasi politik. Airlangga mungkin menghadapi dilema politik yang sulit, terutama dalam memposisikan Golkar dalam konstelasi politik yang penuh kontroversi ini. Pengunduran diri bisa jadi merupakan strategi untuk menghindari konflik kepentingan yang lebih besar.
Dampak Mundurnya Airlangga dan Ketidaksolidan Koalisi Indonesia Maju (KIM)
Mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar juga memberikan sinyal kuat mengenai ketidaksolidan Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, dan Prima, yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Pengunduran diri ini menunjukkan bahwa ada masalah internal yang lebih mendalam, bukan hanya di Golkar, tetapi juga dalam struktur koalisi secara keseluruhan.
Hal ini dapat diartikan sebagai indikasi bahwa KIM tidak solid, dan dugaan bahwa para ketua umum partai politik tersandera oleh kekuasaan semakin menguat. Dalam situasi politik yang penuh tekanan dan ketidakpastian ini, pemimpin partai besar seperti Airlangga mungkin merasa sulit untuk mempertahankan posisinya tanpa harus tunduk pada kekuatan yang lebih besar, baik dari dalam maupun luar partai. Mundurnya Airlangga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan, atau sebaliknya, sebagai pengakuan bahwa tekanan yang ada sudah terlalu berat untuk ditanggung.
Dampaknya, ketidaksolidan KIM ini bisa menyebabkan perubahan besar dalam peta politik menuju Pilpres 2024. Koalisi yang terlihat kuat di permukaan mungkin sebenarnya rapuh, dan pengunduran diri Airlangga hanya mempertegas keretakan yang ada. Ini juga membuka peluang bagi partai-partai lain untuk mengambil keuntungan dari situasi ini, baik dengan menarik simpati pemilih Golkar yang merasa terabaikan atau dengan meraih aliansi baru yang lebih stabil.
Kejadian Serupa Tokoh Politik Dunia
Keputusan untuk mundur di tengah situasi krisis politik bukanlah fenomena yang baru. Sejarah politik dunia mencatat beberapa tokoh penting yang mengambil langkah serupa di masa-masa sulit, baik karena tekanan internal partai, kekalahan politik, maupun perubahan strategi.
David Cameron (Inggris, 2016), mundur sebagai Perdana Menteri Inggris dan pemimpin Partai Konservatif setelah hasil referendum Brexit yang tidak sesuai dengan kampanye yang dia dukung. Cameron yang mendukung Inggris tetap di Uni Eropa merasa tidak memiliki legitimasi lagi untuk memimpin setelah hasil referendum menunjukkan mayoritas memilih Brexit. Langkah Cameron ini mirip dengan situasi yang mungkin dihadapi Airlangga, di mana keputusan untuk mundur diambil karena perbedaan visi dengan situasi politik yang berkembang.
Angela Merkel (Jerman, 2018), mengundurkan diri sebagai Ketua Umum CDU pada 2018 di tengah tekanan yang meningkat dari dalam partai dan hasil pemilu regional yang buruk. Merkel, yang telah lama memimpin partai dan negara, memutuskan untuk mundur demi memberikan ruang bagi regenerasi kepemimpinan. Langkah ini dapat dibandingkan dengan keputusan Airlangga, yang mungkin juga didorong oleh kebutuhan untuk memberikan kesempatan kepada pemimpin baru di Golkar.
Tony Blair (Inggris, 2007), Tony Blair mundur sebagai pemimpin Partai Buruh dan Perdana Menteri Inggris setelah tekanan internal partai terkait kebijakan luar negerinya, terutama keputusannya untuk mendukung invasi Irak. Blair menghadapi penurunan dukungan yang signifikan, yang akhirnya memaksanya untuk menyerahkan kepemimpinan kepada Gordon Brown. Kasus ini mirip dengan Airlangga, di mana tekanan internal dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan dapat mendorong keputusan untuk mundur.
Penutup
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar menandai babak baru dalam situasi politik Indonesia yang terus bergejolak. Langkah ini, yang diambil di tengah situasi politik yang sarat dengan kontroversi dan tantangan, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai arah masa depan Partai Golkar serta dinamika politik nasional menjelang Pilkada dan Pilpres 2024.
Dengan membandingkan situasi ini dengan kasus-kasus serupa di berbagai negara, kita bisa melihat bahwa keputusan Airlangga bukanlah hal yang unik, melainkan bagian dari pola global di mana pemimpin politik memilih mundur untuk menghindari krisis yang lebih besar atau membuka jalan bagi regenerasi kepemimpinan.
Dalam konteks ini, Partai Golkar kini berada di persimpangan jalan, apakah akan mampu bangkit dengan kepemimpinan baru yang lebih segar, atau justru terjebak dalam krisis yang lebih dalam. Di sisi lain, bagi Airlangga, pengunduran diri ini mungkin membuka peluang baru dalam karier politiknya, atau setidaknya, menjaga nama baiknya di tengah badai politik yang sedang melanda Indonesia.
Bagaimanapun juga, langkah ini menambah ketidakpastian di panggung politik Indonesia yang sudah kompleks, dan hanya waktu yang akan menjawab bagaimana dampak dari pengunduran diri ini terhadap masa depan Golkar, Koalisi Indonesia Maju, dan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan. (*)